WELCOME TO MY WORLD

Kamis, 13 Maret 2008

PERKEMBANGAN PSIKOLOGI REMAJA


Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun. Setiap tahapan usia seseorang, selalu melewati tahap tugas-tugas perkembangan-nya. Bila seseorang gagal melewati tugas perkembangan pada usia yang sebenarnya (sesuai dengan usia kalender-nya), maka pada tahap perkembangan berikutnya akan terjadi suatu masalah pada diri seseorang tersebut. Untuk mengenal lebih jauh tentang kepribadian remaja perlu diketahui tugas-tugas perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan tersebut antara lain: 1. Remaja dapat menerima keadaan fisiknya dan dapat memanfaatkannya secara efektif Sebagian besar remaja tidak dapat menerima keadaan fisiknya. Hal tersebut terlihat dari penampilan remaja yang cenderung meniru penampilan orang lain atau tokoh tertentu. Misalnya si Ani merasa kulitnya tidak putih seperti bintang film, maka Ani akan berusaha sekuat tenaga untuk memutihkan kulitnya. Perilaku Ani yang demikian tentu menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri dan orang lain. Mungkin Ani akan selalu menolak bila diajak ke pesta oleh temannya sehingga lama-kelamaan Ani tidak memiliki teman, dan sebagainya. 2. Remaja dapat memperoleh kebebasan emosional dari orangtua Usaha remaja untuk memperoleh kebebasan emosional sering disertai perilaku "pemberontakan" dan melawan keinginan orangtua. Bila tugas perkembangan ini sering menimbulkan pertentangan dalam keluarga dan tidak dapat diselesaikan di rumah , maka remaja akan mencari jalan keluar dan ketenangan di luar rumah. Tentu saja hal tersebut akan membuat remaja memiliki kebebasan emosional dari luar orangtua sehingga remaja justru lebih percaya pada teman-temannya yang senasib dengannya. Jika orangtua tidak menyadari akan pentingnya tugas perkembangan ini, maka remaja Anda dalam kesulitan besar. 3. Remaja mampu bergaul lebih matang dengan kedua jenis kelamin Pada masa remaja, remaja sudah seharusnya menyadari akan pentingnya pergaulan. Remaja yang menyadari akan tugas perkembangan yang harus dilaluinya adalah mampu bergaul dengan kedua jenis kelamin maka termasuk remaja yang sukses memasuki tahap perkembangan ini. Ada sebagaian besar remaja yang tetap tidak berani bergaul dengan lawan jenisnya sampai akhir usia remaja. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakmatangan dalam tugas perkembangan remaja tersebut. 4. Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri Banyak remaja yang belum mengetahui kemampuannya. Bila remaja ditanya mengenai kelebihan dan kekurangannya pasti mereka akan lebih cepat menjawab tentang kekurangan yang dimilikinya dibandingkan dengan kelebihan yang dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa remaja tersebut belum mengenal kemampuan dirinya sendiri. Bila hal tersebut tidak diselesaikan pada masa remaja ini tentu saja akan menjadi masalah untuk tugas perkembangan selanjutnya (masa dewasa atau bahkan sampai tua sekalipun). 5. Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma Skala nilai dan norma biasanya diperoleh remaja melalui proses identifikasi dengan orang yang dikaguminya terutama dari tokoh masyarakat maupun dari bintang-bintang yang dikaguminya. Dari skala nilai dan norma yang diperolehnya akan membentuk suatu konsep mengenai harus menjadi seperti siapakah "aku" ?, sehingga hal tersebut dijadikan pegangan dalam mengendalikan gejolak dorongan dalam dirinya. Selain tugas-tugas perkembangan, kita juga harus mengenal ciri-ciri khusus pada remaja, antara lain: - Pertumbuhan Fisik yang sangat Cepat - Emosinya tidak stabil - Perkembangan Seksual sangat menonjol - Cara berfikirnya bersifat kausalitas (hukum sebab akibat) - Terikat erat dengan kelompoknya Secara teoritis beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batas-batas umur remaja, tetapi dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan tidak dapat menjelaskan secara pasti tentang batasan usia remaja karena masa remaja ini adalah masa peralihan. Dari kesimpulan yang diperoleh maka masa remaja dapat dibagi dalam 2 periode yaitu: 1. Periode Masa Puber usia 12-18 tahun a. Masa Pra Pubertas: peralihan dari akhir masa kanak-kanak ke masa awal pubertas. Cirinya: - Anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi - Anak mulai bersikap kritis b. Masa Pubertas usia 14-16 tahun: masa remaja awal. Cirinya: - Mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya - Memperhatikan penampilan - Sikapnya tidak menentu/plin-plan - Suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib c. Masa Akhir Pubertas usia 17-18 tahun: peralihan dari masa pubertas ke masa adolesen. Cirinya: - Pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya - Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja pria 2. Periode Remaja Adolesen usia 19-21 tahun Merupakan masa akhir remaja. Beberapa sifat penting pada masa ini adalah: - Perhatiannya tertutup pada hal-hal realistis - Mulai menyadari akan realitas - Sikapnya mulai jelas tentang hidup - Mulai nampak bakat dan minatnya Dengan mengetahui tugas perkembangan dan ciri-ciri usia remaja diharapkan para orangtua, pendidik dan remaja itu sendiri memahami hal-hal yang harus dilalui pada masa remaja ini sehingga bila remaja diarahkan dan dapat melalui masa remaja ini dengan baik maka pada masa selanjutnya remaja akan tumbuh sehat kepribadian dan jiwanya. [sumber :www.iqeq.web.id]

DARSANA SETIAWAN, Drs,M.Si

sumber : darsanaguru.blogspot.com

PERKEMBANGAN PSIKOLOGI REMAJA


Media mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Media memberikan informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi. Dan penelitian menunjukan bahwa persepsi mempengaruhi sikap (attitude) dan perilaku seseorang.

Kognisi adalah semua proses yang terjadi di fikiran kita yaitu, melihat, mengamati, mengingat, mempersepsikan sesuatu, membayangkan sesuatu, berfikir, menduga, menilai, mempertimbangkan dan memperkirakan.

Menurut survey yang dilakukan the Pew Research Center and the Pew Forum on Religion and Public Life, dalam 1 tahun terjadi peningkatan yang signifikan mengenai jumlah orang amerika yang memandang Islam sebagai agama yang memicu kekerasan. Survey dilaksanakan pada bulan maret 2002 dan juli 2003 dengan sample orang amerika dewasa
berjumlah 2.002 orang. Hasilnya menunjukan pada tahun 2002, 25% dari mereka mengatakan bahwa Islam adalah agama yang memicu kekerasan dan pada tahun 2003 prosentasi ini meningkat tajam menjadi 44%.

Banyak variable yang bisa dikatakan mempengaruhi peningkatan tersebut, dan faktor pengaruh media pasti ada didalamnya. Sejak peristiwa 9/11 sampai dengan saat ini, hampir setiap hari ada pemberitaan ataupun pembahasan mengenai teroris, dan selalu dikaitkan dengan Islam. Jadi sebuah konsekwensi logis jika dalam setahun (2002-2003) terjadi peningkatan yang tajam mengenai impresi Islam terkait dengan kekerasan dan terorisme.

Amerika merupakan salah satu negara yang paling gencar memberikan asosiasi Islam-terorisme melalui media, terutama sejak kejadian 9/11. Padahal kenyataan menurut data biro keamanan departemen luar negeri AS tahun 1990 seperti ditulis oleh Aswar Hasan di Kompas Cyber Media edisi 19 april 2002, dari 233 insiden teroris anti amerika, hanya 8 yang berhubungan dengan arab, dan berdasarkan peta terorisme global, terorisme paling banyak terjadi di Amerika Latin yaitu 162 kasus, di Asia terjadi 96 kasus sedangkan di Timur tengah hanya 63 kasus.

Usaha Amerika menggunakan media sebagai medium pembentukan kognisinya juga bisa dilihat dari kasus penayangan film American Exposure pada tentaranya yang akan berperang. Seperti diwartakan oleh Aswar Hasan :
Film itu berdurasi 40 menit, dengan paparan kisah yang sarat propaganda justifikasi stereotipe aktivis Islam teroris. Film itu menggambarkan bagaimana bom meledak di sana sini, korban berserakan, bersimbah darah, dan di antaranya, ada yang menangisi tubuh korban yang terkena bom. Di tengah hiruk-pikuk ledakan bom, sekelompok kaum muslimin tampak sedang shalat berjamaah. Setelah itu, muncul komentar, "Era Baru fundamentalisme Islam Mujahidin sedang bangkit". "Karena itu, jika mereka bersedia mati untuk Tuhan, mungkin kita perlu datang ke sana, untuk menyelamatkan mereka".
Pada adegan lain, tampil seorang wanita tua bertubuh kecil, berjalan, diikuti komentar sang narator, "...dia bisa saja merupakan teroris. Mereka, patut kita curigai. Jangan mudah percaya, sepanjang dia muslim aktivis. Begitu pula, saat layar memperlihatkan gambar sekelompok anak-anak muslim, maka si narator pun menambahkan, "Mereka boleh jadi merupakan teroris masa depan".
Usai pemutaran film, pertanyaan pertama yang diajukan kepada para prajurit yang menontonnya adalah; "Bagaimana bila kita angkat senjata dan menghancurkan mereka?" Spontan prajurit Amerika yang mengikuti pelatihan itu berkomentar; "Rasanya, kita benar-benar perlu turun tangan menghancurkan mereka. Dengan begitu, dunia ini akan menjadi aman dan damai, dan itu sesuai tugas kita sebagai Polisi Dunia."

Usaha Amerika tersebut merupakan upaya brainwashed dengan membentuk kognisi, persepsi dengan perantara media.

Berbagai kejadian di setiap pelosok dunia diwartakan oleh media, baik itu media televisi, koran, majalah, internet, dan lain sebagainya. Penyajian berita, pilihan angle, pilihan highlight kalimat, akan diterima oleh pembacanya. Kenyataannya menurut Fiske & Taylor (1991), masyarakat memandang bahwa berita dimedia adalah sebuah kebenaran, dalam artian masyarakat umum cenderung menerimanya secara naif, menerima begitu saja berita-berita tersebut tanpa mempertanyakan ke-valid-an berita tersebut.

Berbagai pemberitaaan media memberikan masukan kepada kognisi individu, dan kognisi akan membentuk sikap.

Sikap
Baron (1979); Fishbein and Azjen 1975 (dalam Baron, 1979); Kiesler and Munson 1975 (dalam Baron, 1979) mendefinisikan sikap sebagai kesatuan perasaan (feelings), keyakinan (beliefs), dan kecenderungan berperilaku (behavior tendencies) terhadap orang lain, kelompok, faham, dan objek-objek yang relatif menetap.

Ada tiga komponen sikap yaitu (1) afektif (affective), yang didalamnya termasuk perasaan suka tidak suka terhadap suatu objek atau orang; (2) kognitif, termasuk keyakinan tentang objek atau orang tersebut ; dan (3) perilaku, yaitu kecenderungan untuk bereaksi tertentu terhadap objek atau orang tersebut.

Sikap merupakan kajian yang sangat krusial karena sikap berperan sangat penting dalam setiap aspek dalam kehidupan sosial. Pertama, sikap pada dasarnya mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kita dengan orang lain. Sebagai contoh sikap yang positif terhadap seseorang membuat kita senang bertemu dengan orang itu, bahkan melakukan sesuatu untuk dia, mengimitasi perilakunya, dll. Sementara sikap yang negatif membuat kita cenderung menolak, menghindari, bahkan mungkin berperilaku kasar terhadap orang tersebut. Kedua, sikap mempengaruhi banyak keputusan-keputusan penting kita. Pilihan kita pada masa pemilihan presiden, gaya hidup, jurusan kuliah, semua dipengaruhi sikap kita terhadap orang dan objek-objek tersebut. Ketiga, sikap menentukan posisi kita ketika kita dihadapkan dengan isu-isu sosial yang krusial.

Pembentukan Sikap
Menurut Baron (1979), ada tiga proses yang sangat sederhana tetapi mempunyai efek yang sangat kuat terhadap pembentukan sikap. Yaitu classical conditioning, instrumental conditioning dan observational learning. Pada tulisan ini saya hanya menekankan pada classical conditioning, karena menurut saya proses inilah yang sedang terjadi saat ini.

Classical conditioning yaitu proses dimana beberapa stimulus yang bersifat netral, yaitu tidak mempunyai efek untuk memicu repon positif ataupun negatif, secara bertahap mempunyai efek itu (memicu respon positif ataupun negatif), setelah dilakukan pemasangan/asosiasi dengan stimulus lain yang memang pada dasarnya mempunyai efek memicu respon.

Kata Islam yang mempunyai efek netral, ketika dipasangkan dengan kata teroris yang mempunyai efek negatif, maka jika dilakukan pemasangan (pengasosiasian) secara terus menerus akan membuat kata Islam mempunyai efek yang sama dengan kata teroris.

Sebuah experimen yang dilakukan oleh Staats and Staats (1958) membuktikan efek classical conditioning tersebut. Mereka memasangkan/mengasosiasikan nama negara Belanda dengan kata-kata positif dan memasangkan nama negara Swedia dengan kata-kata yang negatif. Caranya yaitu setiap kata nama negara Belanda ditampilkan experimenter mengucapkan kata-kata yang positif seperti hadiah, senang, bersih, dll. Dan kebalikannya ketika nama negara swedia ditampilkan di monitor, kata-kata yang diucapkan seperti : jelek, kotor, pahit, kegagalan, dsb. Kemudian setelah beberapa menit experimenter meminta para subjek penelitian untuk memberikan impresi mereka tentang kedua negara tersebut, dan ternyata Belanda mendapat rating yang lebih positif dibanding Swedia. Perlu digaris bawahi bahwa pemasangan tersebut hanya dilakukan dalam beberapa menit dan sudah memberikan dampak kepada subjek penelitan.

Proses Pembentukan Asosiasi Teroris – Islam
Pemberitaan di media yang selalu menyandingkan kata teroris dan Islam menciptakan asosiasi yang kuat antara kedua kata tersebut. Setiap hari kita disajikan berita terorisme yang terkait dengan Islam. Dipelosok dunia manapun dan kapanpun waktunya publik selalu disajikan dengan asosiasi tersebut. Proses asosiasi tersebut bagaikan memenuhi seluruh ruang dan waktu. Experiment oleh Staats yang hanya dilakukan dalam beberapa menit telah memberikan dampak yang begitu nyata, bayangkan betapa dahsyatnya dampak proses asosiasi ini yang telah berlangsung bertahun-tahun, sedang dan masih akan berlangsung.

Atkinson & Shiffrin (1971) mengatakan bahwa semua rangsangan stimulus baik itu objek visual, auditif maupun konatif diterima oleh organ-organ indera (sensory memory) dan diteruskan ke working memory atau kadang disebut juga Short Term Memory (STM) akhirnya berlabuh di Long Term Memory (LTM).

Stimulus diterima oleh SM hanya beberapa detik, dan jika seseorang memberikan perhatian pada stimulus, maka stimulus itu akan memasuki STM/WM yang mampu menyimpan memori sampai dengan sekitar 20 detik, jika ada perhatian, usaha ataupun proses pada tahapan ini, maka stimulus itupun akan tersimpan di LTM secara permanen. Tanpa perhatian dan proses yang lebih kompleks pada setiap proses, akan mengakibatkan lupa.

Berbagai penelitian menunjukan bahwa metode mengingat asosiasi merupakan salah satu cara yang paling ampuh untuk meningkatkan kemampuan dalam mengingat. Sesungguhnya kita kerap menggunakan metode ini dalam aktifitas sehari-hari. Jika kita baru berkenalan dengan seseorang, maka untuk mengingat dan menyimpan data dimemori tentang orang tersebut kita biasanya menggunakan asosiasi.

Misalkan anda berkenalan dengan X untuk pertamakali, maka wajah X akan anda simpan dimemori, dan diasosiasikan dengan data-data yang berhasil didapat. Misalkan data lainnya adalah X cantik, murah senyum, ada tahi lalat di hidung, dll. Sehingga dikemudian hari jika anda mendengar seseorang menyebut nama X maka muncullah data-data yang terasosiasi dengan nama orang tersebut.

Pada kondisi pengasosiasian oleh media antara kata teroris dan Islam, sesungguhnya yang juga terjadi adalah asosiasi atas semua data yang terkait dengan teroris dan segala data yang terkait dengan Islam yang telah tersimpan dimemori seseorang. Misalkan dalam kognisi si fulan berdasarkan data akumulatif yang terkumpul sepanjang hidupnya, kata teroris berasosiasi dengan kata bom, pembunuhan, pelakunya menggunakan topeng, sadis, biadab, dll. Sedangkan kata Islam berasosiasi dengan orang yang mengenakan kopyah, berjenggot, sholat, orang Indonesia, orang Arab, dll.

TERORIS = PEMBUNUH, PELAKU PENGEBOMAN, MENGENAKAN TOPENG, DLL.
+
ISLAM = ORANG ARAB, ORANG INDONESIA, MENGENAKAN KOPYAH, SHOLAT, DLL.
=
ORANG ISLAM ADALAH TERORIS

Maka sebagai asosiasi kedua kata tersebut muncul kesimpulan bahwa orang Islam, yang suka sholat, mengenakan kopyah, dan berjanggut adalah teroris, orang yang suka membunuh, dsb.

Kognisi kita akan terefleksi pada sikap kita terhadap sesuatu, yang berarti hasil asosiasi teroris-Islam yang tertanam dalam benak tiap-tiap orang akan mempengaruhi sikapnya.

Dampak Asosiasi teroris-Islam terhadap kognisi anak-anak
Sampai dengan mereka setidaknya remaja, kebanyakan anak-anak mempunyai sikap yang sama dengan orang tua mereka. Mereka setuju dengan orang tua mereka atas semua isu. Anak-anak mengadopsi keyakinan dan sikap suka tidak suka terhadap sesuatu, baik itu mengenai makanan, pakaian bahkan pilihan akan partai. Bahkan Baron (1979) mengatakan bahwa anak-anak seringkali merupakan foto kopi orang tua mereka. Dan anak-anak cenderung mengikuti sikap orang tuanya secara buta, tanpa dasar kognitif yang rasional. Yang membedakan dampak media antara bagi orang dewasa dengan anak-anak adalah :

Pertama anak-anak masih mempunyai keterbatasan pengetahuan dan kemampuan untuk menganalisa kejadian, dan hal tersebut akan membuat mereka dengan mudah menerima asosiasi teroris-Islam. Mereka akan menerima semua berita itu tanpa banyak perlawanan. Anak-anak setiap saat melihat di televisi, membaca dikoran tentang terorisme-Islam. Walaupun tidak seintens individu-individu dewasa dalam mengakses berita tetapi proses yang sama dalam kadar yang berbeda juga terjadi.

Kedua, karena usia yang masih muda anak-anak akan mengalami proses ini secara lebih lama, yang akan memberikan efek yang lebih mendalam.

Ketiga, dengan kognisi, belief dan afeksi yang telah tertanam lama, sebagai para pemimpin dimasa mendatang probabilitas bahwa mereka akan berperilaku negatif terhadap Islam menjadi sangat besar. Dan perilaku ini akan menjadi perilaku kolektif diseluruh dunia.

Dengan asumsi-asumsi tersebut Islam akan semakin termajinalkan dimasa mendatang.

Upaya Meng-counter
Pemberitaan tentang Islam yang tidak proporsional akan menciptakan image yang disequilibrium tentang pemahaman Islam. Pemberitaan yang baik harus cover both side, seimbang, tidak hanya meng-highlight terorisme yang dilakukan oleh segelintir orang Islam, tetapi juga hal-hal positif yang dilakukan orang-orang Islam.

Upaya menyeimbangkan proses yang telah begitu lama dan kuat memang relatif sulit, tapi upaya harus dilakukan.

Bronfenbrenner mengatakan bahwa hal-hal yang mempengaruhi individu mempunyai tingkatan-tingkatan. Pengaruh utama adalah dari keluarga, lalu sekolah, kemudian media dan kebijakan pemerintah. Upaya mengcounter harus dilakukan secara simultan pada semua tingkatan-tingkatan tersebut.

Sebagai lingkungan terdekat, keluarga dapat menyeimbangkan asosiasi negatif tersebut. Kemudian otoritas formal lain selain orang tua seperti guru, media, juga bisa mulai menyajikan berita yang seimbang, dan pemerintah sebaiknya mendukung dengan peraturan-peraturan yang membuat aturan main yang jelas sehingga asas keseimbangan tetap dijaga.

Daftar bacaan
· Alam, W. Media and Communications in The Third World: Impact of Media on Society. Kanishka Publisher, 2000.
· Baron, R.A. Psychology. Allyn & Bacon,1998
· Baron, R.A. Social Psychology, Understanding Human Interaction. Allyn & Bacon, 1979
· Bhatnagar. R.V. Media and Communications in The Third World: Social Impact of The Electronic Media. Kanishka Publisher, 2000
· Chaplin, C.P. Kamus Lengkap Psikologi. PT. RajaGrafindo Persada, 1993
· Fiske, S.T & Taylor, S.E. Social Cognition. 2nd ed. McGraw Hill, 1991.
· Gazali, E. Without Media There Can Be No Terrorism. www.kompas.com.
· Hasan, A. Ekspose Terorisme Dalam Justifikasi Stereotipe Aktivis Islam. www.kompas.com. 2002.
· Lindsay, P.H. & Norman, D.A. Human Information Processing. 2nd ed, Academic Press, 1977
· Morgan and King R.A. Introduction To Psychology. 7th ed, Tata McGraw Hill, 1996.
· The Pew Research Center. Growing Number of Americans Say Islam encourages Violance among Followers. WWW.pewglobal.org. 2003.

posted by Lukman Nul Hakim at 4:33 AM

sumber : Lukmanul hakim